Komunikasi Yang Memotivasi : Keputusan Tanpa Penyesalan

Standard

Pernah galau?
Pernah bimbang?
Pernah kebingungan menentukan?

Kondisi itu umumnya terjadi karena terlalu lama mempertimbangkan tanpa kesegeraan untuk mengambil keputusan. Jangan tunda dan jangan berlama-lama, karena pada hakikatnya, hidup adalah menemui pilihan, memutuskan, dan memunculkan pilihan-pilihan berikutnya. Terlalu lama berarti membuang waktu, dan bisa jadi melewatkan kesempatan-kesempatan yang berseliweran, dibiarkan berlalu begitu saja.

Jangan bingung saat menemui pilihan, tips paling mudah adalah sempitkan pilihan menjadi dua, dan ambil keputusan dengan segera. Jangan lupa, apapun keputusan yang diambil, terima hasilnya, jangan pernah tangisi dan sesali. Keputusan tanpa penyesalan ini adalah fondasi untuk senantiasa memiliki energi maju, bergerak, optimis dan antusias menatap dan menjemput masa depan. Jangan mau menjadi narapindana yang dikurung oleh masa lalu yang telah tertinggal jauh di belakang. Putuskan dan jangan pernah sesali, adalah rumus fight tanpa kenal menyerah dan membebaskan diri kita dari sifat cengeng yang mengungkit-ungkit masa lalu dan menyesali yang sudah terjadi. Berharap keadaannya tidak begitu, meski fakta dan buktinya adalah begitulah keadaannya. Jangan ditinggal lari, hadapi dengan gagah berani, seorang yang hebat bukanlah yang mampu berhasil dalam setiap upayanya, tapi orang hebat adalah yang mengambil tanggung jawab dari setiap keputusan yang diambilnya.

Putuskan segera, agar juga mengetahui hasil dan dampak dengan segera. Saat pintu tertutup, jangan membuang energi dengan mengumpat dan menendangi pintunya, jangan-jangan Tuhan begitu menyayangi kita, dengan menutup pintu tersebut untuk menuntun kita menemukan pintu yang lebih luas, lebih lega, lebih mudah dibuka, dan apa yang ada di balik pintu yang lain itu lebih memberikan kemanfaatan pada kita. Janji Tuhan pun tidak pernah meleset, bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan, yakini dan hayati, maka setiap keputusan bukanlah sebuah penyesalan, pada hakikatnya setiap keputusan adalah tantangan dan keindahan, lagipula, itulah yang membuat hidup lebih menarik, bahwa tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi besok. Manusia berencana, Tuhan menentukan, manusia menganalisis dan memprediksi, Tuhan memberikan realitas dan fakta yang disuguhkan di depan mata kita.

Maka yakinlah dalam mengambil keputusan, total ambil tanggung-jawabnya, dan selalu tingkatkan semangat – optimisme, jangan ada penyesalan, kegagalan itu tidak ada, yang ada sebenarnya adalah feedback atas keputusan kita, dan tidak ada sikap yang lebih baik terhadap feedback, selain mengambil hikmah, dan menjadikannya landasan untuk berbuat lebih baik di kesempatan berikutnya.

Ditulis di Sumenep
Kota Sumekar

——————–
Faizal Alfa MBA
Motivator Komunikasi
Tinggal di Kota Malang
@FaizalMotivator

Komunikasi Yang Memotivasi : Nolifikasi

Standard

Dalam sebuah perjalanan antar propinsi, saya teringat akan hukum petani, konsep ini dikemukakan oleh Shiv Kera, motivator hebat yang menginspirasi begitu banyak orang, namun saya sendiri pertama kali menikmati ‘Law of Farmer’ dari salah satu sesi materi Om James Gwee, sang Indonesia’s Favourite Trainer. Intensi fokus saya mengarah pada salah satu proses yang dialami petani, ketika sudah terlanjur menanam sebuah bibit, sudah kita telateni, sudah kita rawat dengan seksama dan penuh dengan atensi, namun ternyata menunjukkan gejala-gejala tidak sehat, alias berpenyakit, maka pilihan untuk terus merawat dan menyemainya ternyata tidak disarankan. Air yang dialirkan, pupuk yang ditaburkan kemudian, proses perawatan dan pemantauan, akan menelan pikiran, waktu, dan biaya yang jelas dan bisa diperkirakan, namun dengan prediksi hasil yang dipastikan tidak menemui harapan.

Nah, apa kemudian yang disarankan? Petani harus mengambil keputusan! Lakukan tindakan! Ternyata tanaman yang diindikasi berpenyakit dan sedang dalam masa pertumbuhan, harus dicabut dan dibersihkan. Eliminasi tanaman dan selamatkan lahan, untuk mencegah nominal yang lebih besar sebagai resiko kita akan kerugian. Titik inilah yang saya beri istilah sendiri : nolifikasi, dikembalikan ke nol lagi. Memang dalam posisi ini, kita harus mengedepankan objektifitas dan menyiapkan mental untuk rugi, sebagai exit-plan pencegahan kerugian yang lebih besar.

Tidak usah disesali dan diratapi, yang lalu biarlah berlalu. Energi tidak diperoleh dari mengigau atas masa lampau, namun energi dirangkai dari optimisme atas masa depan. Istirahat sejenak, ambil nafas panjang dan kendurkan sejenak sekujur otot, untuk menghimpun kembali tenaga dalam mengolah tanah, demi bibit baru yang lebih baik, lebih subur, lebih menghasilkan dan lebih memberikan keluasan manfaat.

Tidak ada yang sia-sia. Dari nol, kembali ke nol. Jangan kecil hati, karena ini nol yang sudah pernah bergerak lincah dan terampil, nol yang bertindak dan melakukan, nol yang sudah memiliki bekal mental dan energi positif yang sudah didepositokan.

Mungkin dalam hidup kita menemui kondisi yang sejenis dengan sang petani, kita sudah tahu caranya. Nolifikasi bukanlah akhir dunia, hanya sebuah proses menutup buku yang sudah harus ditamatkan, untuk memulai tulisan di buku baru dengan optimisme dan antusiasme yang tidak berubah, bahkan semakin bertambah.

Ditulis di Tuban, Jawa Timur.

Faizal Alfa MBA
Motivator
Tinggal di Kota Malang
@FaizalSurpluS

Komunikasi Yang Memotivasi : Menginterpretasi Potensi

Standard

Benarkah kita sudah melakukan semuanya?
Betulkah kita sudah mencurahkan yang terbaik?
Apakah sudah kita memberikan upaya maksimal?
Atau jangan-jangan masih belum menggunakan semua tenaga dan upaya?
Itulah potensi. Saya jadi ingat salah satu film yang teramat sering cuplikannya ditayangkan dan dijadikan inspirasi dalam sesi-sesi motivasi, sebuah film berjudul “Facing The Giant”, dimana dalam salah satu scene, sang tokoh bernama Brock diberi tantangan oleh sang pelatih melakukan latihan fisik bernama “The Death Crawl” dengan tambahan menggendong temannya dan mata tertutup scarf. Hasilnya di luar dugaan, Brock yang memperkirakan dirinya hanya mampu melakukan “The Death Crawl” sejauh 50yard, dengan support dari Sang Pelatih, mampu melakukan tantangan hingga ujung lapangan, luar biasa!

Saya ingat-ingat, mungkin kita juga sering dalam situasi yang sama, perlu upaya ekstra, perlu tenaga tak terkira, aslinya masih punya banyak tenaga, tapi terpendam, tidak kita sadari, sehingga tidak kita gunakan. Inilah frasa kunci dari potensi, sesuatu yang sudah ada dalam diri kita, namun tidak kita sadari, terpendam, ada di dalam, kita tidak pernah tahu, karena tidak pernah melakukan proses yang sungguh-sungguh untuk mengetahuinya. Kita boleh saja hidup belasan bahkan puluhan tahun bersama fisik dan pikiran kita, namun apakah kita sudah benar-benar mengenalnya, atau akrab dengannya? Belum tentu! Ini yang menjadi ‘blocking-factor’ yang menyembunyikan hal-hal istimewa dan luar biasa dari diri kita.

Ketika kita tidak menyadari potensi yang ada dalam diri kita, potensi tetap menjadi potensi karena kita juga pastinya tidak gunakan. Ini satu rangkaian, tidak menyadari, maka tidak menggunakan. Lebih kompleks jika ‘blocking-factor’nya tebal, merasa kita tidak memiliki potensi itu, sehingga kita mudah mengambil konklusi untuk : tidak bisa, dan tantangan yang menghadang ini sudah di luar kemampuan kita. Dalam konsep pilihan fight or flight, kita jadi cenderung terlalu hati-hati, bermain aman, dan tidak mau fight, sedikit-sedikit memilih flight alias minggat, mengucap sayonara pada medan laga.

Musuh terbesar potensi dalam diri adalah zona nyaman, ketika kita hanya berkutat dan bergelut dengan hal-hal yang sudah kita kenali, dan kita yakin cara penanganannya, kita menjadi manja pada diri kita, malas memberikan tantangan-tantangan untuk sesuatu yang berbeda dan berkembang. Dampaknya, semakin terkuburlah potensi kita, mati sebagai potensi belaka, tanpa pernah terwujud dalam sebuah realita efek ‘aha’, ternyata saya bisa! Ternyata berhasil, ternyata mampu saya lakukan! Efek aha yang sejenis seperti saat Brock terengah-engah di ujung lapangan usai menuntaskan tantangan “The Death Crawl”, lelah namun lega, terengah namun gagah.

Saatnya menantang diri kita, melakukan hal-hal yang menggelitik adrenalin dalam diri kita, yang membuat diri kita berdiskusi secara internal dengan memunculkan pertanyaan : ‘bisa nggak ya, bagaimana caranya?”, biarkan sel otak bekerja menjalankan fungsinya, beri kesempatan otot menegang membuktikan kekuatannya, dan berilah ruang dan waktu pada potensi-potensi terbesar dalam diri anda muncul, untuk sekaligus dalam satu waktu mengagetkan, membuktikan, dan meningkatkan diri anda menjadi pribadi dengan kualitas yang lebih baik. Bencana terbesar bagi seseorang bukanlah ketika membutuhkan sesuatu namun tidak mendapatkannya. Bencana terbesar justru terjadi ketika seseorang tidak mampu memanfaatkan dan mendayagunakan apa yang sudah ada dalam dirinya.

“You are more than you think, if you do more than what you’ve done!”

Faizal SurpluS MBA
Motivator
Tinggal di Kota Malang
@FaizalSurpluS

Komunikasi Yang Memotivasi : Sabar Yang Elegan

Standard

“Jadi orang itu yang sabar…”

“Orang sabar disayang Tuhan..”

Sering dengar pastinya, betapa sebuah kesabaran itu adalah suatu sikap yang mulia, orang yang sabar dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang yang tidak sabar. Meskipun persepsi yang berkembang saat ini, dengan tekanan hidup yang tinggi, budaya perkotaan dan modernitas yang memicu persaingan keras, sabar dianggap barang langka, bahkan mungkin jika sabar adalah sejenis spesies, maka termasuk spesies endemik yang statusnya sudah di ambang kepunahan.

“Sabar ya ada batasnya!”

Ini yang menarik, kita sering mendengar statemen tersebut, yang sebenarnya jika ditelaah lebih lanjut, justru ambigu, karena ternyata, sabar itu tidak ada batasnya. Lho, kalau begitu, kalau ada batasnya apa dong? Kalau masih berbatas, maka termasuk tidak sabar, simpel khan?

Sabar sendiri prakteknya multipersepsi, karena sebagai sebuah realitas, sabar dipersepsi dalam bentuk yang berbeda-beda. Saya memilih mempersepsi sabar dalam perspektif yang non-konvensional. Saya tidak setuju kalau sabar diidentikkan dengan ngalah, nrimo(jawa), atau diam dan pasif tanpa upaya. Saya sendiri mempersepsi sabar sebagai sebuah upaya aktif, lebih tepatnya persitensi. Sabar bukanlah imaji seperti tokoh protagonis dalam kisah-kisah azab Ilahi, yang alim namun penuh derita, yang berperangai halus namun hidupnya menerus didera nestapa. Sabar itu seperti Tom Hanks dalam Cast Away, seperti Will Smith dalam Pursuit of Happyness, seperti Bruce Willis dalam Die Hard, atau Keanu Reeves dalam Speed. Sabar itu aktif, sabar itu agresif, sabar itu konsisten untuk tetap dan terus melakukan wala mengalami kendala atau belum mendapat hasil. Sabar perlu dimaknai dalam bingkai yang berbeda. Terus melakukan meski diremehkan, terus berjuang meski dicaci, terus berikhtiar meski dihina, dipersulit, atau dizalimi dengan berbagai cara.

Sabar bukanlah kelemahan dan kondisi menyerah tanpa upaya, jadilah pribadi yang sabar dengan elegan, sabar yang layak mendapat apresiasi dan acungan jempol, sabar yang memunculkan rasa salut dan respek. Sukses bukan lagi sebuah kemungkinan, namun sudah menjadi kepastian, tinggal menunggu waktu, terus lakukan, jangan lupa dengan sabar.

Faizal SurpluS MBA
Motivator
Tinggal di Kota Malang
@FaizalSurpluS